Senin, 04 Juni 2012

Kisah Keteladanan Shohabat

Ali bin Abi Thalib

Pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa dirinya diibaratkan sebagai kota ilmu, sementara Ali bin Abi Thalib adalah gerbangnya ilmu. Mendengar pernyataan yang demikian, sekelompok kaum Khawarij tidak mempercayainya. Mereka tidak percaya, apa benar Ali bin Abi Thalib cukup pandai sehingga ia mendapat julukan "gerbang ilmu" dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berkumpullah sepuluh orang dari kaum Khawarij. Kemudian mereka bermusyawarah untuk menguji kebenaran pernyataan Rasulullah tersebut. Seorang di antara mereka berkata, "Mari sekarang kita tanyakan pada Ali tentang suatu masalah saja. Bagaimana jawaban Ali tentang masalah itu. Kita bisa menilai seberapa jauh kepandaiannya. Bagaimana? Apakah kalian setuju?"
"Setuju!" jawab mereka serentak.
"Tetapi sebaiknya kita bertanya secara bergiliran saja", saran yang lain.
"Dengan begitu kita dapat mencari kelemahan Ali. Namun bila jawaban Ali nanti selalu berbeda-beda, barulah kita percaya bahwa memang Ali adalah orang yang cerdas."
"Baik juga saranmu itu. Mari kita laksanakan!" sahut yang lainnya.

Hari yang telah ditentukan telah tiba. Orang pertama datang menemui Ali lantas bertanya, "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?"
"Tentu saja lebih utama ilmu," jawab Ali tegas.
"Ilmu adalah warisan para Nabi dan Rasul, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Fir'aun, Namrud dan lain-lainnya," Ali menerangkan.

Setelah mendengar jawaban Ali yang demikian, orang itu kemudian mohon diri. Tak lama kemudian datang orang kedua dan bertanya kepada Ali dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?"
"Lebih utama ilmu dibanding harta," jawab Ali.
"Mengapa?"
"Karena ilmu akan menjaga dirimu, sementara harta malah sebaliknya, engkau harus menjaganya."

Orang kedua itu pun pergi setelah mendengar jawaban Ali seperti itu. Orang ketiga pun datang menyusul dan bertanya seperti orang sebelumnya. "Bagaimana pendapat tuan bila ilmu dibandingkan dengan harta?"
Ali kemudian menjawab bahwa, "Harta lebih rendah dibandingkan dengan ilmu?"
"Mengapa bisa demikian tuan?" tanya orang itu penasaran.
"Sebab orang yang mempunyai banyak harta akan mempunyai banyak musuh. Sedangkan orang yang kaya ilmu akan banyak orang yang menyayanginya dan hormat kepadanya."

Setelah orang itu pergi, tak lama kemudian orang keempat pun datang dan menanyakan permasalahan yang sama. Setelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh orang itu, Ali pun kemudian menjawab, "Ya, jelas-jelas lebih utama ilmu."
"Apa yang menyebabkan demikian?" tanya orang itu mendesak.
"Karena bila engkau pergunakan harta," jawab Ali, "jelas-jelas harta akan semakin berkurang. Namun bila ilmu yang engkau pergunakan, maka akan semakin bertambah banyak."

Orang kelima kemudian datang setelah kepergian orang keempat dari hadapan Ali. Ketika menjawab pertanyaan orang ini, Ali pun menerangkan, "Jika pemilik harta ada yang menyebutnya pelit, sedangkan pemilik ilmu akan dihargai dan disegani."

Orang keenam lalu menjumpai Ali dengan pertanyaan yang sama pula. Namun tetap saja Ali mengemukakan alasan yang berbeda. Jawaban Ali tersebut ialah, "Harta akan selalu dijaga dari kejahatan, sedangkan ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, lagi pula ilmu akan menjagamu."

Dengan pertanyaan yang sama orang ketujuh datang kepada Ali. Pertanyaan itu kemudian dijawab Ali, "Pemilik ilmu akan diberi syafa'at oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala di hari kiamat nanti, sementara pemilik harta akan dihisab oleh Allah kelak."

Kemudian kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Mereka yang sudah bertanya kepada Ali mengutarakan jawaban yang diberikan Ali. Mereka tak menduga setelah mendengar setiap jawaban, ternyata alasan yang diberikan Ali selalu berbeda. Sekarang tinggal tiga orang yang belum melaksanakan tugasnya. Mereka yakin bahwa tiga orang itu akan bisa mencari celah kelemahan Ali. Sebab ketiga orang itu dianggap yang paling pandai di antara mereka.

Orang kedelapan menghadap Ali lantas bertanya, "Antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama wahai Ali?"
"Tentunya lebih utama dan lebih penting ilmu," jawab Ali.
"Kenapa begitu?" tanyanya lagi.
"Dalam waktu yang lama," kata Ali menerangkan, "harta akan habis, sedangkan ilmu malah sebaliknya, ilmu akan abadi."

Orang kesembilan datang dengan pertanyaan tersebut. "Seseorang yang banyak harta", jawab Ali pada orang ini, "akan dijunjung tinggi hanya karena hartanya. Sedangkan orang yang kaya ilmu dianggap intelektual."

Sampailah giliran orang terakhir. Ia pun bertanya pada Ali hal yang sama. Ali menjawab, "Harta akan membuatmu tidak tenang dengan kata lain akan mengeraskan hatimu. Tetapi, ilmu sebaliknya, akan menyinari hatimu hingga hatimu akan menjadi terang dan tentram karenanya."

Ali pun kemudian menyadari bahwa dirinya telah diuji oleh orang-orang itu. Sehingga dia berkata, "Andaikata engkau datangkan semua orang untuk bertanya, insya Allah akan aku jawab dengan jawaban yang berbeda-beda pula, selagi aku masih hidup."

Kesepuluh orang itu akhirnya menyerah. Mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah benar adanya. Dan ali memang pantas mendapat julukan "gerbang ilmu". Sedang mengenai diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tidak perlu diragukan lagi.

Shohabat

Utsman bin Affan

Utsman bin Affan ra berasal dari keluarga kaya raya dari silsilah Bani Umayyah. Sejak kecil Utsman telah mendapat pendidikan membaca dan menulis dari keluarganya. Selain berpendidikan Utsman bin Affan dikenal pula sebagai seorang yang memiliki akhlakul karimah. Tak hanya ketika ia berada dalam naungan Islam namun juga sebelumnya. Rasulullah SAW sendiri menggambarkan Utsman bin Affan ra sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati diantara kaum muslimin.

Dalam perjalanan hidupnya Utsman bin Affan berhasil menjadi seorang saudagar kaya raya. Namun kesederhanaan tetap melingkupi hati beliau. Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa Utsman senang menjamu orang banyak dengan hidangan mewah bagaikan hidangan kaum bangsawan. Namun di rumahnya beliau hanya memakan roti dengan minyak atau cuka. Dikisahkan pula bahwa Utsman ra pernah berpidato di atas mimbar memakai sehelai kain kasar dan kopiah seharga lima dirham.

Utsman bin Affan memiliki julukan Dzun Nurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah SAW yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum.

Pernikahan Utsman dengan Ruqayah terjadi ketika Ruqayah diceraikan oleh suaminya terdahulu yang bernama Utbah. Utbah merupakan putra Abdul Uzza bin Abdul Muthallib atau yang lebih dikenal dengan Abu Lahab. Perceraian ini dilakukan atas desakan Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, untuk menghina dan merendahkan keluarga Rasulullah SAW. Untuk meringankan beban Rasulullah dan keluarganya Utsman kemudian melamar Ruqayah.

Dengan Ruqayah, Utsman menjadi suami-istri pertama dari kalangan kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah. Lama tak terdengar kabar dari mereka berdua. Sampai seorang Quraisy memberikan kabar kepada Rasulullah bahwa ia telah melihat Utsman bin Affan ra dengan Ruqayah.

"Bagaimana keadaan mereka berdua?" tanya Nabi.
"Menantumu sedang menuntun keledai yang ditunggangi oleh istrinya yang sedang hamil," jawab si Quraisy.

Setelah mendapatkan kabar bahwa keadaan di Mekah telah aman bagi kaum muslimin, muhajirin yang berada di Habasyah pun kembali ke Mekah. Termasuk Utsman bin Affan dan Ruqayah.

Pasangan ini tak lama menetap di Mekah karena kembali berhijrah ke Madinah. Saat berada di Madinah Ruqayah menderita penyakit campak. Keadaannya diperparah dengan kesedihan yang mendalam atas kepergian ibundanya, Khadijah ra dan anaknya Abdullah yang baru berusia 6 tahun.

Selama Ruqayah terbaring sakit, Utsman selalu berada di sisi istrinya dan mengurusnya dengan lemah lembut dan penuh kesabaran. Bersamaan dengan itu kaum muslimin diseru untuk bergabung menghadapi perang Badar. Hati Utsman bimbang. Tak tega rasanya ia meninggalkan istrinya yang tengah terbaring sakit. Akhirnya Rasulullah mengizinkan Utsman tetap di rumah untuk mengurus istrinya. Utsman mendampingi istrinya sampai Ruqayah wafat. Tak lama ia menikah lagi dengan Ummu Kaltsum.

Utsman bin Affan ra menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khatab ra tepatnya pada tahun 23 H. Selama masa pemerintahan Utsman bin Affan kekhalifahan Islam berhasil diperluas mulai dari wilayah Armenia, Kaukasia, Khurasan, Kirman, Sijistan, Cyprus sampai Afrika Utara. Utsman juga telah berjasa memperbanyak salinan Al-Qur'an dan menyebarkannya ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Di bawah pemerintahan Utsman bin Affan pulalah kaum muslimin memiliki gedung pengadilan tersendiri serta armada laut yang digunakan dalam perang Dzatu Sawari. Utsman juga memerintahkan perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.

Ketika masa pemerintahan Utsman berjalan 6 tahun terjadilah pemberontakan untuk menjatuhkan Utsman dari kursi kekhalifahan. Namun Utsman tak pernah memberantas para pemberontak tersebut. Kelemahlembutan hatinya menyebabkan ia mencoba menyelesaikan semuanya dengan komunikasi yang baik.

Utsman wafat sebagai syahid pada hari Jumat tanggal 17 Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman.